Jumat, Februari 28, 2020

Sejarah Situ Buleud Purwakarta

Situ Buleud Purwakarta
Purwakarta.in | Disebut Situ Buleud karena danau yang cukup luas itu berbentuk bulat (Sunda, buleud). Asal-usul Situ Buleud berkaitan erat dengan peristiwa perpindahan ibukota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih, tepatnya sejalan dengan pembangunan infrastruktur kota Purwakarta pada tahap awal. 

Kepindahan ibukota kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih yang kemudian jadi Purwakarta telah menjadikan Purwakarta sebagai kota tempat kediaman (woonstaad) yang kemudian juga ditandai dengan diadakannya pembangunan sarana dan prasarana (fasilitas umum dan fasilitas sosial) kota Purwakarta, dimulai dari masa pemerintahan Bupati Raden Adipati Aria Soeriawinata (Dalem Shalawat) (1829-1849) berturut-turut sampai dengan Bupati Raden Adipati Aria Soeriamihardja (Adipati Songsongkuning) (1925-1942), misalnya dengan pengurugan rawa-rawa dan lain-lain, termasuk sebuah danau atau telaga (Sunda : situ).

Situ dapat pula diartikan sebagai danau atau telaga dalam bahasa Indonesia. Dan mengingat keberadaannya, maka situ dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis, yaitu situ alami dan situ buatan. Sama halnya dengan keberadaan danau alami dan danau buatan seperti danau buatan Saguling, Cirata dan Jatiluhur yang terjadi akibat dibendungnya sungai Citarum. Perlu diketahui, bahwa di Purwakarta memang terdapat beberapa buah situ, seperti : Situ Buleud di Purwakarta, Situ Wanayasa di Wanayasa, Situ Cikumpay di Campaka, Situ Cigangsa di Campaka dan Situ Kamojing di Bungursari dan lain-lain.


R.A.A. Soeriawinata (Dalem Shalawat), disebut demikian karena Beliau selalu membaca shalawat dimana saja dan kapan saja tak ada waktu yang terlewat. Konon, beliau pindah ke kabupaten di sebelah barat Situ Buleud sekarang, setelah mendapat ilafat yang diterimanya setelah shalat istikharah, antara tidur dan tidak tidur beliau mendengar suara, bahwa ibukota kabupaten Karawang harus dipindahkan dari Wanayasa ke sebelah utara dimana terdapat sebuah kolam (situ) dan 3 (tiga) batang pohon bunga tanjung serta di sanalah harus didirikan kabupaten. Konon kabupaten itu sendiri dibuat pada tahun 1829 sebelum pindah dari Wanayasa ke Purwakarta. Dalem Shalawat pindah dari Wanayasa ke Sindangkasih diikuti oleh seluruh keluarga dan pegawai kabupaten, demikian juga rakyat banyak yang mengantarkannya.

 
Situ Buleud Purwakarta (foto: net)
Tahun 1830-1832 Masehi, kepindahan dari Wanayasa ke Sindangkasih tidak mungkin sekaligus karena di tempat baru di distrik Sindangkasih tak mungkin dapat menampung sekaligus sarana bagi keperluan pusat pemerintahan kabupaten sebagai kenyataan di dalam tahun 1830 di distrik Sindangkasih itu masih memerlukan perluasan dengan harus membuka hutan belukar (Sunda : ngabukbak leuweung) sampai tahun 1832 yang tertunda karena kedatangan Cina Makao yang mengacaukan dan melakukan penggarongan. 


Setelah reda dan dapat tertumpas, setelah aman dari perusuh Cina Makao di distrik Sindangkasih dimulailah pembangunan untuk pusat pemerintahan kabupaten sebagaimana dikemukakan di atas.

Daerah kota Purwakarta yang pada waktu mulai dibangun oleh Dalem Shalawat, sebagian besar masih merupakan hutan belukar, dimana terdapat banyak alur-alur tanah yang dalam dan kering selain terdapat juga rawa-rawa. Diantaranya terdapat sebuah genangan air (situ) yang dalam yang kemudian kita kenal sebagai Situ Buleud.


Konon, menurut ceritera rakyat tempo doeloe secara tutur tinular turun temurun adalah merupakan tempat mandi (pangguyangan) binatang badak Jawa bercula satu (Rhinoceros sondaicus), yang katanya berasal dari daerah sekitar Simpeureum (Jatiluhur) dan Cikumpay (Campaka) . Badak-badak ini sama seperti saudaranya yang terdapat di dalam Taman Nasional Ujungkulon, Banten.
Alasan dan pendapat ini terlalu dipaksakan dan tidak masuk akal. Sebab rasanya mustahil satu atau beberapa ekor badak (sabubuhan) yang mau mandi (guyang) pagi atau sore seperti layaknya manusia, untuk apa mesti repot-repot berjalan sangat jauh sampai berkilo-kilo meter dari Simpeureum (Jatiluhur) dan Cikumpay (Campaka) ke daerah Situ Buleud (Sindangkasih atau Purwakarta).

Padahal untuk menuju ke sana harus terlebih dahulu menyeberangi beberapa sungai besar dan kecil. Pastilah badak yang pintar akan lebih memilih sungai yang terdekat saja untuk mandi dan dijamin belum banyak terpolusi seperti pada masa sekarang. Misalnya badak yang berasal dari Simpeureum (Jatiluhur) tentu akan memilih mandi di sungai Citarum, sungai Cinangka, sungai Cikembang, sungai Cilangkahan atau sungai Cikao dan badak yang berasal dari Cikumpay (Campaka) akan lebih memilih mandi di sungai Cilamaya atau sungai Ciherang.


Daerah sekitar Situ Buleud, boleh jadi juga dihuni oleh banteng Sunda (Bos sondaicus), kijang (Muntiacus muncak), babi hutan (Sus scrofa), harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), macan tutul (Phantera pardus melas), monyet (Macaca fascicularis), ular piton (Python reticulatus) dan biawak (Veranus salvator) sewaktu Purwakarta dulu masih berupa hutan belantara (leuweung geledegan - gung liwang liwung -loba badak loba maung).


Selama masa pemerintahannya, Dalem Shalawat telah memerintahkan membuat sebuah saluran air, yaitu Solokan Gede dari Parakan Salam ke kota Purwakarta (dari Parakan Salam lewat Cihuni, Pasawahan - sebelah utara stasiun keretaapi Purwakarta sekarang, Kampung Bojong, Kampung Baru, Babakan Anyar, Situ Buleud, masuk kota Purwakarta, pabuen (penjara, Lembaga Pemasyarakatan), keluar kota Purwakarta di bawah pengawasan R. Soerakoesoema, dengan maksud untuk mengkultivasi tanah-tanah yang masih penuh hutan belukar antara Parakan Salam dan Cipaisan dan sekalian mengairi membersihkan kota sebagai saluran saniter. Bahkan konon ada yang disebut dengan Solokan Ciraden.


Adapun bangunan kabupaten yang mula pertama, letaknya di sebelah timur dari bangunan kabupaten yang sekarang atau dengan kata lain berada di sebelah barat Situ Buleud. Sedangkan tanah pekarangan karesidenan yang sekarang pada waktu itu sama sekali tidak bisa dipergunakan untuk keperluan pembangunan.


Dalam usaha Dalem Shalawat untuk membangun kota, maka tanah-tanah pekarangan kabupaten dan karesidenan itu kemudian diarug dengan tanah-tanah galian dari Balekambang dan dari pinggiran-pinggiran situ.


Dengan jalan demikian, maka diperolehlah untuk keperluan pembangunan tanah-tanah pekarangan yang memadai dan selain itu sebuah situ yang luas, dikelilingi sebuah jalan yang kemudian menyusul dibuat. Bagian tanah-tanah di sebelah belakang dari bangunan karesidenan yang sekarang ini juga berturut-turut menyusul diarug dan kini disebut kompleks Pasar Rebo tempat perkampungan (wijk) orang-orang Arab.


Pada masa pemerintahan R.A.A. Sastraadhiningrat I (Dalem Sepuh) (1854-1863) pembangunan jalan-jalan di dalam kota mendapat perhatian dan mulai dilaksanakan, sedangkan dalam rangka usaha memperindah kota, situ yang letaknya di tengah-tengah kota yang kini disebut Situ Buleud kemudian diperbaiki dan diperluas dengan ditanami pohon-pohon asam (Tamarindus indica Linn.) atas jerih payah seseorang yang bernama Singakiria (Singakarta?) dari Galuh (Ciamis) di sekelilingnya, begitu juga di sepanjang pinggir jalan-jalan dalam kota. Pohon-pohon asam ini kini jumlahnya dapat dengan mudah dihitung karena sebagian besar telah ditebang dan diganti dengan pohon-pohon lain, seperti pohon mahoni (mahagoni).


Dalam tahun 1854 Dalem Sepuh sudah membuat dam Pondok Salam untuk masukkan air ke sawah-sawah di Purwakarta. Panjangnya 7 pal, banyaknya sawah yang mendapat air selokan sampai Situ Buleud 2.500 bau. R. Wirajasa II ditugaskan untuk memimpin pembangunan Waduk Kamojing untuk pengairan sawah-sawah sekitar daerah Adiarsa (Dawuan).


Pada masa pemerintahan R.A.A. Sastraadhiningrat II (Dalem Bintang) (1863-1886) dalam hal kebutuhan penduduk akan tanah untuk kawasan pemukiman atau perumahan, maka dibukalah (dibaladah atau dibukbak) sebuah kawasan di bagian sebelah timur kota Purwakarta yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Bojong dan Kampung Baru atau Babakan Anyar untuk dijadikan perkampungan baru.

Selain daripada itu, dalam bidang pertanian diperluaslah areal persawahan di sebelah timur dan di sekitar Kampung Bojong dan Kampung Baru atau Babakan Anyar itu dalam usaha mencukupi kebutuhan penduduk akan bahan pangan. Sebagai peninggalannya sekarang masih terdapat sebuah kompleks persawahan yang dikenal dengan nama Sawah Lega.


Berbicara mengenai badak dan pangguyangan badak, ada hal yang menarik yang perlu dicatat, bahwa mungkin buat manusia modern yang hidup di jaman sekarang, aturan tata bumi yang sering dijadikan patokan untuk menentukan letak dan arah bangunan kota (Feng Shui / Hong Shui), paling banter cuma dianggap takhyul, irasional dan tak masuk akal.

Persyaratan yang tak pernah diabaikan orang, sewaktu memilih lokasi buat tempat pemukiman, pada umumnya selalu berorientasi kepada sumber air. Yang sering diasosiasikan dengan bekas kubangan badak putih itu. Di Cianjur dewasa ini, masih bisa kita temui pangguyangan badak putih di pojok alun-alun. Sebagai historical site, cukup mendapat pengamanan dan perawatan yang baik. Lalu dimanakah letak pangguyangan badak putih di kota Bandung? Agaknya, banyak juga bekas pemandian badak di kota Bandung, bila kita mau menelusurinya.


Mengingat, lebih setengah abad setelah ibukota kabupaten pindah dari Dayeuhkolot ke Bandung (1866), di Cisitu, belakang kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) sekarang, juga di Pamoyanan, pating sruntul kawanan badak mencari kubangan. Namun dari beberapa pemandian badak yang paling dikenal masyarakat Bandung, terdapat di pojok alun-alun sebelah timur laut. Di tempat itu terdapat sumur sepasang atau dalam bahasa Sunda disebut Sumur Bandung. Begitu pula di wilayah kota lama Surabaya, sebuah mata air jernih yang dinamakan Banyu Hurip (Air Kehidupan) merupakan titik awal tempat hunian penduduk di kota buaya.


Dan penggunaan kata 'badak' dapat dijumpai, misalnya ada nama gang Badak di kota Purwakarta atau nama gang dan kampung kampung Ceulibadak di kelurahan Tegal Munjul, kecamatan Purwakarta, kabupaten Purwakarta. Atau nama kecamatan Cibadak di Rangkasbitung dan Sukabumi. Atau ada pula nama jalan Badak di kecamatan Lengkong, Bandung atau jalan Badak Singa di kecamatan Coblong, Bandung.


Nah, sekarang agaknya legenda tentang Situ Buleud mestinya hanya menjadi bagian yang unik dan menarik tanpa menjadi versi kontroversial dan polemik berkepanjangan. Ya, Situ Buleud dulu boleh jadi memang menjadi tempat pangguyangan badak putih yang pating sruntul dan malu-malu.



Sumber: Kompasiana.com

avatar
Redaksi Purwakarta.in Online
Welcome to Purwakarta.in
Chat ke Redaksi