Rabu, Januari 01, 2020

Kebudayaan Purwakarta di Mata Pendatang.


Purwakarta.in | Sebuah kota kecil di Tanah Pasundan yang mendapat perhatian cukup luas terkait gebrakan budayanya. 

Adalah putra kelahiran Subang bernama Dedi Mulyadi yang mengemukakan konsep ‘Purwakarta Spirit Budaya’. Menjabat sebagai Bupati sejak tahun 2008, ia menerjemahkan konsep spirit budaya dalam sejumlah kebijakan pembangunan dan peraturan daerah.

Dedi Mulyadi mengelurkan sejumlah peraturan daerah yang mengangkat nilai-nilai tradisi dalam lingkungan pendidikan hingga kemasyarakatan. Misalnya saja, Peraturan Bupati Purwakarta (Perbup) No 69 Tahun 2015 tentang Pendidikan Berkarakter, Perbup No 70A Tahun 2015 tentang Desa Berbudaya, dan Perbup No 70B Tahun 2015 Tentang Ketahanan Budaya Masyarakat Kelurahan di Purwakarta.

Kota Purwakarta sudah banyak berubah. Terlihat jelas, ada upaya masif dan terstruktur yang membuat sudut-sudut kota berjuluk Kota Tasbeh itu seakan kembali ke era tradisional.
Patung-patung yang beraneka ragam, topi caping, sapu lidi, payung dan lampion menjadi landsmark Purwakarta seolah ingin menonjolkan budaya sebagai ciri khas kota ini. Setiap gang dan pintu masuk kota pun dihiasi gapura berarsitektur kerajaan Hindu masa lampau.
Dilansir dari Kiblat.net di Gedung Dakwah Purwakarta pada Ahad, (06/12/15), Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengaku apa yang dilakukannya di Purwakarta ini terwujud dari rasa heran. 

Ia keheranan dengan pembangunan budaya sunda yang tidak ada peninggalan fisiknya dalam bentuk ajaran yang berkembang di masyarakat. 

Baik itu lewat cerita rakyat atau lainnya. Sehingga, ia mencoba mencari bentuk kesundaan yang ia pelajari. Kemudian ia mencoba mentranformasikannya dalam konsep ‘Purwakarta kembali ke budaya’. 

“Saya heran dengan bangunan fisik sunda yang tidak ada peninggalannya dalam bentuk ajaran yang berkembang dalam cerita rakyat, sehingga saya belajar dari daerah Jogja, Cirebon, Jawa Timur dan Jawa Tengah sampai saya bisa membangun gapura yang seperti ini dan diterapkan,” ucap Dedi usai acara diskusi ‘Membumikan Islam Nusantara’ yang digelar ISNU Purwakarta.

Pesatnya laju pembangunan itu sendiri memang membawa nilai positif bagi warga dan kebanyakan dari mereka menerima perubahan tersebut. Unsur seni yang kreatif dalam pembangunannya memang menjadi ciri kahs tersendiri. 

Namun, tidak semua warga Purwakarta setuju dengan apa yang sudah dilakukan oleh Dedi Mulyadi.

Salah satu di antaranya adalah Yeyen. Mahasisiwi berusia 18 tahun ini mengaku merasakan banyak perubahan pada kota kelahirannya. Ia juga melihat penataan kota yang semakin baik dan banyak dibangun ruang publik. Tapi dalam proses pembangunannya, Yeyen malah merasakan ada hal yang ganjil di kota yang ia tinggali.

“Iya sekarang ini memang cukup pesat ya, sekarang ini banyak kegiatannya seperti jalan santai, pawai egrang dan macem-macem. Tapi tidak semua itu positif, sewaktu masih SMA pada perayaan arak-arakan kereta kencana. Ada yang melihat kalo isi keretanya ada orangnya dan jadi rame semua temen-temen disekolah,” ucap Yeyen saat dijumpai di seputaran Situ Buled saat Car Free Day, Ahad pagi.

Ia juga merasa takut dan merasakan adanya kemistikan yang terjadi karena dalam perayaan arak kereta kencana itu. Pasalnya, ada bau menyan sangat menyengat yang diringi gamelan sunda.

“Iya serem, waktu ngeliat di sana soalnya suasanya udah serem ditambah musiknya yang juga serem di dukung juga bau-bau menyan disana,” sambungnya.

Senada dengan Yeyen, warga Purwakarta lainnya bernama Haikal juga menyatakan hal yang sama. Siswa salah satu SMP Negeri di Purwakarta ini tidak setuju dengan pembangunan patung-patung. 

Menurutnya, kebijakan budaya itu tidak seharusnya diterapkan di seluruh Purwakarta

avatar
Redaksi Purwakarta.in Online
Welcome to Purwakarta.in
Chat ke Redaksi