Rabu, Februari 12, 2020

Asal Usul Ranca Darah


Purwakarta.in | Rancadarah erat kairannya dengan peristiwa Pemberontakan Cina Makao di Purwakarta, yang menurut beberapa catatan Belanda, terjadi tanggal 8 – 9 Mei 1832.

Peristiwa itu bermula dari pekerja Cina Makao yang mengerjakan pembukaan perkebunan teh di Wanayasa, yang ditempatkan di Pasir Nagara Cina atau Garacina. Para pekerja Cina itu tidak merasa puas, karena upah kerjanya selalu terlambat diterima serta banyak potongan.

Sementara itu, di daerah Cilangkap Purwakarta, banyak juga Cina Makao pendatang yang membuka lahan-lahan pertanian. Mereka juga kecewa, karena penguasa saat itu melarang mereka melanjutkan pembukaan lahan-lahan baru di sana. Akhirnya, Cina Makao pekerja teh di Pasir Nagara Cina, diam-diam berunding dengan Cina Makao Cilangkap untuk melakukan perlawanan.

Tanggal 8 dan 9 Mei 1832, terjadilah kerusuhan besar-besaran di Purwakarta. Cina Makao membakari gedung-gedung dan bangunan pemerintah, yang baru dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Karawang bersama dengan Pemerintah Hindia Belanda. Gudang-gudang di Pelabuhan Cikao pun dibakar habis. Bupati Karawang saat itu, Raden Adipati Suriawinata, bisa meloloskan diri dari pendopo dan bersembunyi di loji Belanda di Kembangkuning.

Untuk memadamkan kerusuhan tersebut, didatangkanlah bala bantuan dari beberapa kabupaten, seperti Cianjur, Sumedang, dan Bandung. Pasukan tentara Hindia Belanda yang bermarkas di Wanayasa, juga turun ke Purwakarta dengan membawa tiga buah meriam, dipimpin oleh komandannya langsung Heinrich Christian Macklot. Mereka bersama-sama mengejar para perusuh hingga ke sebelah barat. Karena ternyata, kerusuhan itu menyebar hingga ke Tanjungpura.

Pada saat yang bersamaan, pasukan tentara Belanda dari Batavia yang dipimpin oleh Alibasyah Sentot Prawirodirjo, telah berhasil mengatasi kerusuhan di sana. Banyak Cina Makao yang terbunuh. Sisanya kembali ke daerah Purwakarta. Tapi di daerah Dawuan telah dihadang oleh pasukan Macklot. 


Gerombolan Cina Makao yang telah mata gelap itu, melakukan perlawanan habis-habisan. Macklot terkena sabetan senjata tajam Cina Makao. Ia terluka parah dan tiga hari kemudian, tepatnya 12 Mei 1832, meninggal dunia di Purwakarta dalam usia 33 tahun.

Sementara itu, Cina Makao dari Wanayasa berencana akan menyerang Purwakarta dari arah selatan. Cina Makao dari Nagara Cina berduyun-duyun turun gunung menuju Purwakarta. Perlawanan Cina Makao dari kaki Gunung Burangrang ini, terjadi pada tanggal 10 Mei 1832, sehari setelah terjadinya kerusuhan di Purwakarta. Mereka membuat kerusuhan di sepanjang jalan Wanayasa – Purwakarta. Namun anehnya, mereka tidak mengganggu bangunan ataupun penduduk yang berada di Kota Wanayasa.

Ada dugaan, mereka berjalan melalui daerah pinggiran Wanayasa, mungkin untuk menghindari penjagaan yang lebih ketat setelah adanya kabar kerusuhan di Purwakarta. Mereka melintasi perkebunan teh, daerah yang sudah sangat dikenalnya, karena sudah lebih empat tahun bekerja di sana. 


Sebagian dari rombongan mereka sempat membunuh Sheper Leau, kepala perkebunan teh di Wanayasa yang terkenal bengis. Sheper Leau dilempari dengan batu, sampai akhirnya disembelih. Mayatnya dibawa, lalu dibuang di tengah-tengah hutan. Kemudian hutan tersebut dikenal dengan nama Leuweung Ciperlaw (Hutan Ciperlaw). Mereka bersatu setelah keluar dari Kota Wanayasa dan mulai melakukan aksinya.

Rupanya aksi Cina Makao dari Pasir Nagara Cina ini, dengan cepat terendus oleh pasukan Belanda di Purwakarta. Mereka pun lantas naik ke arah Wanayasa. Dan bertemu dengan gerombolan Cina Makao di tanjakan Pasir Panjang. Pertempuran pun tak dapat dihindari. 


Dalam pertempuran tersebut, banyak korban dari kedua belah pihak. Darah pun menggenangi tanah di mana-mana, layaknya sebuah rawa (dalam bahasa Sunda “ranca”). Maka daerah itu pun oleh masyarakat setempat dinamai Rancadarah. Mayat-mayatnya dibuang ke sebuah lembah di sekitar Rancadarah. Untuk mendata dan mencatat korban, harus menggunakan sigay, yakni tangga bambu yang biasa dipergunakan untuk menyadap nira enau. Maka daerah itupun dinamai Legok Sigay.

Beberapa orang Cina Makao yang selamat, kembali ke Wanayasa. Mereka bersembunyi di sekitar Pasir Nagara Cina. Lalu berbaur dengan masyarakat setempat. Bahkan ada yang bermukim di perkampungan di dalam Kota Wanayasa. Gang Pringgandani di samping Klinik Dokter Ridwan, misalnya, dulunya bernama Gang Babah Kecil. 


Karena di ujung gang tersebut, tinggal seorang Cina Makao dari Nagara Cina, yang bertubuh kecil. Tak ada yang tahu nama sebenarnya, tidak diketahui pula menikah dengan penduduk setempat.

Sumber : TatarJabar

avatar
Redaksi Purwakarta.in Online
Welcome to Purwakarta.in
Chat ke Redaksi